Review :: A Copy of My Mind

Well, tadinya gue mikir ini cuma drama tentang dua manusia yang tinggal di rural area dengan konflik dewasa yang menurut gue nggak begitu menarik. Kemudian, gue mulai tertarik setelah baca sinopsisnya, karena ternyata ada unsur politiknya.

“Like seriously, drama dengan poster macam ini kenapa bisa ada unsur politiknya?” Itu kira-kira pemikiran gue, yang seharusnya jangan nilai film dari posternya, hahaha.

Thanks to twitter juga, karena banyak sinopsis dan review yang mudah diakses atau tersebar, dan nggak sekali-dua kali gue coba baca review orang yang kemudian malah ngebuat gue makin penasaran buat nonton.

Dan kemarin, akhirnya gue berhasil nonton, meskipun satu studio isinya gue doang. Sama sekali nggak menyesal, thumbs up buat seluruh orang yang terlibat buat pembuatan film ini. Mengapa demikian?

This film is a slow-pace one. Chemistrynya Tara Basro sebagai Sari si tukang facial salon murah dengan Chicco Jerikho sebagai Alek, pembuat subtitle DVD bajakan bener-bener luar biasa, nggak kayak film India yang tiba-tiba kok udah deket aja sih? Atau tau-tau udah joget bareng dengan latar belakang 100 orang yang entah dari mana asalnya ikut joget kayak flash-mob. Selain itu, dialog antar mereka juga terdengar natural, sampai gue bisa berada dalam posisi kalo tokoh Sari dan Alek sebenernya ada, somewhere in Jakarta, terutama di daerah Glodok.

Lalu, gue akui topiknya menarik, termasuk surprising untuk dijadiin film Indonesia yang notabene (katanya) harus mendidik dan berbudaya lokal ketimuran, lalu akhirnya jadi film dengan kejelasan yang dipertanyakan. Scene, plot-twist dan unsur politiknya bisa dikorelasikan dengan kehidupan nyata, bener-bener real, dengan tema Jakarta underground.

Detail lain yang gue suka dari film ini adalah musiknya. Damn, lo bisa ikut terjun ke dalam film karena tiap background sound dalam suatu scene bener-bener “Ih, kayak gue biasanya deh.”

Contohnya, saat adegan berdiri dalam bus, ditemenin sama suara kondektur. Lalu pas adegan Sari sama Alek nonton bareng di kosan, sayup-sayup kedengeran suara dangdutan dari kos sebelah. Yang paling bikin gue terkesan sih waktu adegan Sari bikin indomie di kosan Alek, sayup-sayup kedengeran suara lagu mandarin karena kosan Alek ada di kawasan pecinan.

Well, then again this isn’t a perfect movie.

Jujur, gue agak pusing nontonnya karena kamera yang shaky dan nggak steady. Beberapa angle nggak jelas juga malah ngebuat gue makin pusing. Lalu, gue juga bingung tiap perpindahan scene karena transisinya kayak film dokumenter. Selain itu, ada beberapa bagian yang gue merasa itu kosong, atau kurang jelas, namun nggak begitu mengganggu isi cerita. Gue bisa maklum karena film ini minim personel dan berdiri sendiri, malah salut karena dengan budget yang sedikit untuk kategori pembuatan film, hasilnya bisa sebagus ini.

Kalau disuruh menjabarkan filmnya pakai sebuah tagline, mungkin gue akan bingung menentukan mana yang pas:

  • Kearifan lokal dari ‘Netflix and chill’.
  • Tentang politik, keluguan, dan romansa di rural area.

Yang kedua gue akui terdengar sangat cheesy, tapi paling nggak bisa mencakup seluruh plot film ini.

But still, I love this movie. Congrats for Joko Anwar, Tara Basro, Chicco Jerikho, dan semua orang yang terlibat!

A Copy of My Mind, DVD Bajakan and chill.


Bonus part:

Ada beberapa bagian yang gue perhatiin lucu atau ganjil dari film ini;

  1. Scene food-court Glodoknya luar biasa unik.
  2. Waktu Sari lagi nunggu, terlihat berjam-jam, bahkan seharian. Tapi jam di scene tetep nunjukin pukul 8.
  3. Sari makan indomie cuma pakai sendok.
  4. Kosan dengan 100 penghuni dan 10 kamar mandi rasanya gimana ya kalau Hari Senin?
  5. Pesonanya Tara Basro waktu jalan di pasar bener-bener sampe ngebuat banyak orang ngeliatin dia pas jalan.
  6. Alek jadi pembuat subtitle badannya bagus banget, kapan olahraganya ya?
  7. “Gue suka film makhluk aneh gitu, contohnya buaya sama ikan, jadi bukan.”
  8. Film ini ngebuat scene pamer brand jadi nggak aneh karena nggak ada unsur promosinya sama sekali.

Leave a comment