Perkara Mengalah dan Realita

“Hayo dibiasain, kakak udah gede, ngalah sama adeknya, ya.”

Kita seringkali menemukan hal sepele macam ini, baik ketika melihat ibu-ibu yang sedang mengurusi anaknya, ataupun dari waktu kita kecil, terutama yang punya adik atau kakak. Pernahkah kalian mencoba untuk berpikir kalau kata-kata di atas cuma semacam omong kosong belaka?

Udah gede, harus ngalah sama yang lebih muda.

Perkara macam ini sebenarnya malah jadi bullshit ketika kita beranjak dewasa. Mengapa demikian?

Kita mulai dari contoh paling jauh hingga yang sering kita temui.

(1) Saat kita kerja nanti, terutama di perkantoran, pasti akan ada peristiwa macam kenaikan jabatan disebabkan karena si A lebih senior daripada si B, padahal kinerja si B lebih bagus meskipun ia masih baru. Kalaupun si B ini mendapat tawaran kenaikan jabatan, ia sendiri juga nggak bisa secara lugas menerima atau menyetujui, karena si A dan A A yang lain bisa marah karena merasa lebih lama kerja di kantor itu.

(2) Saat kita di bangku perkuliahan, si A lebih senior daripada si B, cenderung sering melakukan intervensi ke kehidupan kampus B, dengan dalih ‘lebih tahu’ atau lebih beken berdalih dengan ‘lebih berpengalaman’. Tapi sebaliknya, B nggak boleh intervensi sama kehidupan A karena si A ini merasa lebih tua dibanding B. Padahal kenyataannya, si A cuma lebih dulu belajar. Soal kapabilitas, belum tentu ia lebih unggul.

(3) Ketika kita duduk di bangku sekolah, banyak terjadi konflik antara guru dan murid, di mana sang murid mempunyai wawasan baru yang ia bagikan di kelas, namun sang guru tidak menggubris atau bahkan menyangkal wawasan sang murid tersebut, karena sang guru merasa yang berhak memberikan wawasan hanyalah ia sendiri. (Bonus: sang guru biasanya langsung memberikan cap murid tadi sebagai anak yang belum tahu apa-apa, jadi lebih baik nggak usah ngomong neko-neko)

(4) Ketika kita mulai memasuki usia remaja akhir atau kepala dua, kita sering berargumentasi dengan orang tua. Dalam tahap ini, banyak dari kita yang akan terjebak dalam situasi ‘harus-ngalah-karena-masih-muda’, ‘harus-ngalah-karena-mereka-orang-tua-kita’, dan yang paling klasik; ‘harus-ngalah-karena-tanpa-mereka-kita-nggak-ada’. Hal ini ironis, karena waktu kita masih kecil, mereka sendiri yang memberikan wejangan tentang bagaimana yang lebih tua harus mengalah, dan harus memberikan kesempatan bagi yang lebih muda untuk bereksplorasi.

Bonus: Ibu-ibu naik motor matic di jalan juga jarang banget mau ngalah kalau dia nabrak atau bermasalah sama orang. Apalagi kalo orang yang dia tabrak atau yang punya urusan sama dia lebih muda.

“DASAR BOCAH, GAK BECUS NAIK MOTOR!” Ke mas-mas umur 22 tahun yang nggak sengaja nabrak ibu-ibu naik matic setelah si ibu ngasih sign mau belok ke kiri tapi dia malah ke kanan.

Beberapa contoh di atas memberikan pembuktian dari ajaran yang diajarkan oleh orang tua kita waktu kecil sebenarnya nggak efektif sama sekali. Realitanya, banyak orang lebih tua yang kita temui nanti akan cenderung ingin mendahului, hanya karena faktor “Saya lebih tua, lho. Kamu masih hijau.” (padahal kita bukan bayem lho pak, bu.)

Dari sini, penulis memberikan sebuah self-note:

  • Jika saya tua nanti, jangan lupa mengalah untuk orang-orang yang lebih kompeten, sekalipun mereka lebih muda.
  • Kalau saya punya anak nanti, nggak perlu mengajarkan ajaran macam ini ke mereka. Cukup diganti dengan “Hayo gantian, mainnya barengan, ya“. Kasian kalau mereka nanti ditipu realita saat udah beranjak dewasa.

Penulis sendiri percaya, masih ada orang yang masih mengamalkan ajaran “yang lebih tua ngalah”, seperti pada saat mereka mengajarkan orang lain atau anak-anak mereka hal serupa. Saya hanya berharap semoga populasi orang-orang semacam ini bertambah, dan saya merupakan salah satunya.

Terima kasih telah membaca!

an unexpected answer about men and patriarchy

Two days ago, I took a walk to a cinema with my partner and we had some deep conversations about politics and norms in the middle of walking. Then, I suddenly burst my random thought inside my head about men and patriarchy.

“I feel sorry about women in this patriarchy culture. Yet, I also sad seeing men being so worthless in this world, especially when it comes to war, or tragedies. Not only that, but a simple thing like men can’t sit on the bus because they have to give their chair to women or elderly people. I often think that everything should be treated equally, even though I’m a woman, and I agree with women empowerment.”

“Then?”

“What’s your opinion as a man about this thing?”

“It’s completely okay, though.”

“..Why?”

“Men often hurt people more than women, without realizing it. Not only hurt them, but they often make something ridiculous or even destroy the whole nation or world. We are all destroyer by default. So that’s it, we are bastards after all. We’ll accept it as our punishment.”

I can’t even say a thing after he answer it blatantly.

uninteresting blog post by emo-me

I never made an interesting post here so.. why so serious?

Today, I feel like I hit the hardest point of living.

Problems are currently coming and hit my weakness spot till I feel like dying.

I know this isn’t the end of the world but this is so exhausting.

Nothing positive crossing my mind except those negative thinking.

I tried to drown myself to piles of work but they did absolutely nothing.

Well, just hope the best and finish these problems by walking.

Walking through my emotions and try to keep my sanity up instead of crying over unnecessary thing.

.

.

Hello, what am I doing with these -ing?

Bye, I’ll continue working.

”Mbak, masih di sana kan?”

“Mbak, masih di sana kan?”

Ini satu pertanyaan yang diucapkan sama abang grab gue tadi malem, exactly pas nyampe depan rumah gue. Satu pertanyaan ini bikin gue bingung.

***

Kejadiannya bermula Rabu malem, saat gue udah frustrasi nungguin bus yang gak dateng-dateng dari jam 6.15 sore, sampe jam 8.40 malem di depan kampus. Akhirnya, gue order grab dan ada yang mau ambil dari kampus ke rumah.

Nggak lama, mas grabnya dateng dan nawarin masker. Karena gue udah punya masker sendiri, gue tolak tawarannya. Setelah diskusi rute, akhirnya gue naik sambil pake helm.

Di jalan, gue nggak banyak omong. Udah capek dan kepikiran tugas buat besok, dan besok juga gue harus masuk pagi. Masnya yang ngajak ngobrol cuma gue tanggepin sama “oh, gitu..” “Haha.” “Nggak kok” atau ketawa formalitas. Untungnya, masnya nggak sok asik dan akhirnya beliau juga berhenti ngomong lagi, di tengah perjalanan.

Jam 10 malem, akhirnya gue sampe depan rumah. Sebelum gue turun dr motor, masnya tau-tau nanya,

“Mbak, masih di sana kan?”

Gue langsung bingung, tapi gue jawab aja

“Iya, masih kok mas.”

Masnya lalu nanya lagi, sementara itu gue turun dan copot helm.

“Ini bener kan rumahnya mbak?”

“Bener kok mas..”

Lalu hening beberapa saat. Awkward silence dan momen itu gue manfaatin buat ngambil uang bayar grab.

“Maaf ya mbak, saya udah suudzhan.”

Gue langsung natap masnya pake tatapan super bingung. “Suudzhan kenapa mas?”

Masnya langsung cerita kalo dia dapet penumpang gaib minggu lalu, pada Rabu malem juga, dengan jam yang sama kayak gue naik, ke daerah yang lumayan deket rumah gue.

Jadi ceritanya, ada cewek dengan warna pakaian yang juga senada kayak gue pada hari itu, tapi rambutnya hitam panjang tergerai, dengan poni nutupin setengah wajah. Cewek ini nolak waktu ditawarin masker dan hairnet. Selain itu, dia juga nggak ngomong saat diajak omong. Singkat cerita, waktu si masnya udah sampe di lokasi, si cewek ngilang gitu aja. Yang bikin lebih begidik, lokasi tempat masnya berhenti juga ternyata gudang kosong.

Masnya ngira gue adalah spesies yang sama, dan itu berarti masnya ngira gue setan. Sontak, gue langsung ketawa sambil ngomong ke masnya.

“Yaampun mas, ini saya orang beneran kok. Nih, saya napak kan sama tanah…”

Masnya akhirnya senyum geli juga gara-gara itu, dan akhirnya nerima plus ngasih kembalian dari uang yang gue kasih. Udah gitu, akhirnya si mas grab ini pulang, barengan sama gue masuk rumah.

Pas di kamar, gue baru sadar kalo gue punya pertanyaan soal pengalaman horor si mas grab yang gue nyesel banget gak tanya dia sebelum masuk rumah.

“Mas, kalo mbak yang dibonceng tau-tau ilang, helmnya gimana?”

***

Woman always (not) right

This is only my random thought but sadar nggak sih kalo kalimat seperti: “Cewek mah selalu bener” atau “Cewek nggak pernah salah” ini masuknya ke konteks yang ironis?

I mean, kenyataannya, justru cewek yang selalu (di)salah(kan).

Buktinya? Kasus yang belakangan ini bikin gue gerah karena masih banyak orang yang menyalahkan korban, mulai dari pakaian, jalanan, waktu pulang, sampe bokong goyang.

Nggak, di sini gue nggak nyalahin cowok. Cewek pun bahkan ada yang ikutan berkomentar asbun macem itu. Miris liatnya.

Well, mungkin gue nggak bisa ngasih banyak argumen berbobot dengan catatan kaki yang banyak karena gue cuma mahasiswa yang baru masuk semester dua pertengahan, but still, at least, respect each other and please try to put yourself in his/her/their/someone’s shoes. By doing that, I’m sure you’ll have some empathy. 

Postingan ini jangan dianggap serius. Lagian keliatan, kalo postingan ini isinya ngalor-ngidul. Biar gimanapun, saya cuma manusia yang parno kalo diajak debat. Maklum, hasil mbti bilangnya saya introvert.

Have a nice day, guys!

*balik mojok baca bukunya Pak Sapardi Djoko Damono*

Btw, thanks for salah satu pejuang front pembela indomie yang udah berani nulis hal semacam ini di akun twitternya. You make me brave to post something like this in my blog dan sepertinya kita punya pandangan yang sama. Keep it up, girl! X)

Where are they now?

Pernah nggak, terlintas di pikiran soal orang yang kita nggak kenal, tapi kalau mereka nggak muncul, kita diem-diem mempertanyakan kayak.. 

“Ih, itu orang kemana ya?”

***

Pemikiran ini muncul saat gue lagi bengong di bis. Di semester ini, gue pulang dari kampus dengan jadwal yang hampir selalu sama dalam seminggu. Waktu gue bengong, gue sadar bahwa ada beberapa wajah familiar yang hampir selalu gue temuin di dalem bis, dengan posisi duduk yang hampir sama juga. Misal, ibu-ibu yang tiap gue temuin ini. Beliau selalu pakai tas rajut biru, naik dari terminal, dan duduk di bangku pojok bagian wanita. Orang ini selalu turun setelah gue, tapi gue nggak tau dia turun di mana. Atau, bapak-bapak yang selalu pakai parka hijau dan bawa koran. Naik dari terminal juga, dan selalu duduk di bangku tengah bagian belakang. Ada juga pak kondektur bus dengan topi hitam dan perawakan kurus, yang selalu ketemu tiap gue keluar kampus jam 3 sore. Ada semacam pola yang sebenarnya mungkin hanya berupa zona nyaman bagi suatu individu, tapi kadang kita melakukannya tanpa sadar. Tapi bukan perilaku manusia yang mau gue amati. Yang mengganjal pikiran gue adalah, saat kita nggak pernah ngeliat orang itu lagi. 

Maksudnya gimana?

Pernah nggak sih, kita yang biasanya ketemu orang itu, lalu tiba-tiba dia menghilang, nggak pernah ketemu lagi? Lalu, pernah mempertanyakan mereka ke mana, nggak? Pernah ngerasa lega kalau lihat mereka muncul lagi di tempat yang sama?

Gue sempet ngerasa ini guenya aja yang terlalu ngurusin ginian atau gimana, tapi serius…

Orang-orang yang pernah gue temuin dari SD, yang biasanya ketemu gue meskipun mereka strangers yang cuma kebetulan punya pola di tempat atau waktu yang sama bareng gue…

Mereka, di mana dan sedang apa ya?

A Complicated Thought about 3 Random Quotes

Entah kenapa ada tiga quotes yang belakangan ini menghantui karena gue rasa mereka berkorelasi.

  1. “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” – Abraham Lincoln

  2. “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Great men are almost always bad men.” – John Dalberg-Acton

  3. “If men were angels, no government should be necessary.” – James Madison

Yang gue maksud berkorelasi adalah sebenarnya ketiga quotes di atas merupakan siklus dari pemerintahan, dengan state actors sebagai “men“. Power merupakan hal penting yang dapat menjadi unsur dalam pembentuk elemen negara kuat, atau negara besar. Tanpa power, tidak ada negara adidaya, dan negara-negara sejenis yang bisa mempunyai keuntungan tersendiri dalam mewujudkan kepentingan nasional.

Pembahasan pada quote pertama dari Abraham Lincoln adalah; state actors sebagai men akan terlihat karakter sebenarnya jika diberikan power, meskipun sebelumnya dijelaskan bahwa “men” bisa menerima kesulitan.

Dari penjelasan pertama, power berkorelasi dengan quote kedua yang menyatakan bahwa power cenderung menyebabkan kerusakan, dan kekuatan yang absolut tentunya akan menciptakan kerusakan yang absolut pula. Selain itu, kalimat terakhir dari quote kedua masuk akal, karena negara-negara hebat memang hampir selalu negara yang “bad“, dalam artian bisa dibilang mempunyai cara sendiri dalam mewujudkan kepentingan nasional mereka. Contohnya, sebut saja Amerika Serikat yang sering disalahkan oleh orang-orang sini, Inggris, Jerman, atau yang terdekat dari kita, Singapura. But hey, this is the reality. If you have a power or you’re a big influence, you can do anything that you want, right?

Lanjut ke penjelasan selanjutnya, hubungan kedua quote sebelumnya dengan yang terakhir adalah state actors yang diibaratkan dengan menggunakan analogi “men“, jika mereka adalah malaikat, maka pemerintahan tidak akan dibutuhkan.

Sebelumnya gue pernah baca bahwa kaum lelaki tanpa pemerintahan tidak akan menciptakan kedamaian, dan malah menimbulkan kehancuran karena pride mereka. Pride berarti mereka sesungguhnya mencari kekuatan untuk mendapatkan kepentingan nasional masing-masing, dan dalam sudut pandang realis, mereka akan melakukan segala cara untuk mewujudkan hal itu. Oleh karena itu, harus ada pemerintahan yang menaungi mereka. Sama halnya dengan state actors di mana mereka bertingkah laku sama dengan “men“, mempunyai kepentingan nasional, dan akan melakukan segala cara untuk mewujudkan kepentingan mereka. Yang berbeda adalah tiap negara sudah menciptakan satu man yang dapat berperan sebagai pemimpin, atau menjadi state actor di kancah global.

Bisa dibayangkan bahwa jika para state actors atau “men” ini adalah malaikat, mereka tidak akan mempunyai kepentingan nasional yang menurutnya perlu diwujudkan, tapi hanya tunduk pada aturan yang berlaku dari Tuhan layaknya malaikat asli yang tidak mempunyai hawa nafsu. Jika hal itu terjadi, maka wajar saja jika pemerintah tidak terlalu dibutuhkan dalam hidup mereka.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa state actors, meskipun sudah biasa terkena banyak masalah dalam negaranya sendiri, cenderung mencari kekuatan untuk menjadi negara yang kuat, dan setelahnya mereka akan mulai mewujudkan kepentingan nasional mereka satu persatu dengan berbagai cara. Jika mereka merupakan malaikat, tentunya hal ini tidak akan terjadi.

Again, this may be a random ramble. I should read more to write anything better than this. Thanks for reading!

Akibat Tugas Esai Belum Selesai

Pernah nggak sih, kepikiran bahwa semua hal di dunia ini memang sebenarnya tercipta karena punya fungsi tertentu?

Simpel memang, tapi ini muncul saat gue pusing ngereview bab 1 materi Teori Perbandingan Politik yang deadlinenya dua hari lagi.

Maksudnya gimana, sih?

Gini, lho. Belakangan ini, banyak banget orang yang terlalu memaksakan kehendaknya dalam berkehidupan, seakan mereka benar-benar baru ‘melek’ dari hibernasi. Banyak vandalisme, kekerasan, dan sejenisnya yang dilakukan untuk ‘menyeragamkan’ dan mengajak kembali ke ‘jalan yang benar’. Gue sebenarnya gerah juga liat yang beginian, apalagi bisa dibilang kalau rata-rata yang buat kerusuhan semacam itu, adalah orang-orang yang satu agama sama gue. Well, gue tahu kalau bahas agama memang sensitif dan akan bisa menimbulkan ketubiran di kalangan netizen, tapi jujur, pembahasan gue selanjutnya juga bakal mengarah ke sana, meskipun cuma in general.

Akhir-akhir ini, gue menemukan pemikiran bahwa dunia ini nggak semonokrom warna kerudung yang lagi ngetren di Tanah Abang. Nggak cuma hitam, dan putih. Hidup dan dunia ini lebih banyak abu-abunya, atau kalau bosan, bisa diganti dengan warna tertentu, sesuai selera. Mengapa demikian?

Gue pernah diskusi bareng partner dan beberapa teman gue mengenai hal ini. Berakhir dengan gue berpikir bahwa seluruh hal negatif di dunia ini tercipta dan terus ada karena suatu faktor. Contohnya; perjudian, prostitusi, pembajakan, kriminalitas, and so on.

Tuhan memang maha asyik, kalau kata Sudjiwo Tedjo.

Bayangkan, kalau Tuhan Maha Kuasa, mengapa hal-hal negatif tersebut masih ada, padahal hanya dengan kehendak-Nya yang ibaratnya asal tunjuk, Dia bisa membuat semuanya berhenti, atau hilang?

Gue berpikir bahwa jawabannya adalah: Karena hal-hal negatif itu juga merupakan salah satu pilar penyeimbang kehidupan. Nggak percaya?

Kenneth N. Waltz, dalam bukunya yang berjudul Man, State, and War menjelaskan bahwa perang dan kedamaian bagaikan sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Kenneth Waltz berani berkata dalam bukunya bahwa tanpa perang, dunia atau suatu negara tidak akan bisa menghargai arti dari kedamaian itu sendiri. Ini make sense, karena tanpa suatu effort, biasanya orang akan menyepelekan suatu hal. Contohnya, orang yang mendapatkan sesuatu karena dibantu orang lain hampir sepenuhnya, atau mendapatkannya karena ‘keberuntungan’, cenderung tidak menghargai apa yang telah ia dapat dibanding orang yang mendapatkannya karena usaha mereka sendiri.

Kesimpulannya, sadar atau tidak sadar, hal negatif dan positif selalu berdampingan. Jika hal negatif itu dilenyapkan, maka tentunya akan merusak tatanan yang telah ada, atau dalam biologi, tentu bisa merusak ekosistem.

Penjabaran di atas bukan berarti kita harus melestarikan hal negatif yang ada di sekitar kita agar bisa beranak-pinak, bukan. Yang dimaksud oleh gue adalah, mencoba untuk memaparkan bahwa kita nggak bisa membuat dunia semua putih, dengan melenyapkan hitam karena dua faktor; (1) Hitam itu pasangannya putih, (2) Hidup di dunia ini bukan cuma hitam dan putih.

Ini bisa saja diibaratkan dengan kata-kata orang tua atau nenek dan kakek kita, “Dunia ini nggak bisa dijadikan semau kamu yang maunya lurus-lurus saja, senang-senang saja, nduk.”

Lalu, bagaimana kita bisa hidup di dunia ini dengan segala keseimbangan yang ada tanpa merusaknya? Ya sebenarnya ini bisa dibilang mudah, kita hanya cukup meningkatkan rasa toleransi, dan menghargai lingkungan sekitar dengan baik.

Fyi, gue juga punya spekulasi macam ini:

Jika mereka yang berpikir bahwa hidup di dunia ini merupakan hitam dan putih mulai melenyapkan yang ‘hitam’, dunia akan terancam. Karena, jika satu-persatu pilar tersebut dihancurkan, tentunya kehancuran yang lebih besar akan terjadi, and I bet you know the next step.

Once again, don’t take this whole post too serious. Karena biar bagaimanapun, ini cuma luapan pemikiran yang agaknya kurang etis dan cukup mengganggu bila diendapkan di otak terlalu lama.

Have a nice day, pal!

An Unpopular Opinion by Superheroes Noob Fan

Just watched Batman v Superman: Dawn of Justice on Thursday with my partner who’s also a DC die-hard fan since kindergarten, and to be honest, I have an unpopular opinion about this movie. Why is it?

After reading many reviews, netizen said that this movie is surprisingly awful, or terrible. Well, I’m not a superheroes comics fan, neither in Marvel, or DC side, but in my honest opinion, this movie is still worth to watch.

It’s surprised me when this 151 minutes length movie isn’t as boring as The Hobbit 2. I’m not even sleepy, or yawning in the middle of watching. As a noob fan, I can’t say anything like; comparing to the comic, or such. but seriously, I found it’s good and still enjoyable.

I love how the characters are having a good character development and interaction each other, and also, the emotions from each characters. Especially, when I saw Batman’s “what-the-f_ck” face, it’s priceless.

Thumbs up for Henry Cavill’s face expression on this whole movie. I can feel the guilt every time he’s appearing on screen. I feel bad for him till I wanna give him a bro hug.

My favorite is still on Gal Gadot’s part. She stole the whole show with her glorious and powerful performance as Wonder Woman. I can’t believe that I hear many people giving applause or clapping hands when she came on screen.

Once again, pardon my movie taste this time, but yeah, Batman v Superman is still worth to watch.

Review :: A Copy of My Mind

Well, tadinya gue mikir ini cuma drama tentang dua manusia yang tinggal di rural area dengan konflik dewasa yang menurut gue nggak begitu menarik. Kemudian, gue mulai tertarik setelah baca sinopsisnya, karena ternyata ada unsur politiknya.

“Like seriously, drama dengan poster macam ini kenapa bisa ada unsur politiknya?” Itu kira-kira pemikiran gue, yang seharusnya jangan nilai film dari posternya, hahaha.

Thanks to twitter juga, karena banyak sinopsis dan review yang mudah diakses atau tersebar, dan nggak sekali-dua kali gue coba baca review orang yang kemudian malah ngebuat gue makin penasaran buat nonton.

Dan kemarin, akhirnya gue berhasil nonton, meskipun satu studio isinya gue doang. Sama sekali nggak menyesal, thumbs up buat seluruh orang yang terlibat buat pembuatan film ini. Mengapa demikian?

This film is a slow-pace one. Chemistrynya Tara Basro sebagai Sari si tukang facial salon murah dengan Chicco Jerikho sebagai Alek, pembuat subtitle DVD bajakan bener-bener luar biasa, nggak kayak film India yang tiba-tiba kok udah deket aja sih? Atau tau-tau udah joget bareng dengan latar belakang 100 orang yang entah dari mana asalnya ikut joget kayak flash-mob. Selain itu, dialog antar mereka juga terdengar natural, sampai gue bisa berada dalam posisi kalo tokoh Sari dan Alek sebenernya ada, somewhere in Jakarta, terutama di daerah Glodok.

Lalu, gue akui topiknya menarik, termasuk surprising untuk dijadiin film Indonesia yang notabene (katanya) harus mendidik dan berbudaya lokal ketimuran, lalu akhirnya jadi film dengan kejelasan yang dipertanyakan. Scene, plot-twist dan unsur politiknya bisa dikorelasikan dengan kehidupan nyata, bener-bener real, dengan tema Jakarta underground.

Detail lain yang gue suka dari film ini adalah musiknya. Damn, lo bisa ikut terjun ke dalam film karena tiap background sound dalam suatu scene bener-bener “Ih, kayak gue biasanya deh.”

Contohnya, saat adegan berdiri dalam bus, ditemenin sama suara kondektur. Lalu pas adegan Sari sama Alek nonton bareng di kosan, sayup-sayup kedengeran suara dangdutan dari kos sebelah. Yang paling bikin gue terkesan sih waktu adegan Sari bikin indomie di kosan Alek, sayup-sayup kedengeran suara lagu mandarin karena kosan Alek ada di kawasan pecinan.

Well, then again this isn’t a perfect movie.

Jujur, gue agak pusing nontonnya karena kamera yang shaky dan nggak steady. Beberapa angle nggak jelas juga malah ngebuat gue makin pusing. Lalu, gue juga bingung tiap perpindahan scene karena transisinya kayak film dokumenter. Selain itu, ada beberapa bagian yang gue merasa itu kosong, atau kurang jelas, namun nggak begitu mengganggu isi cerita. Gue bisa maklum karena film ini minim personel dan berdiri sendiri, malah salut karena dengan budget yang sedikit untuk kategori pembuatan film, hasilnya bisa sebagus ini.

Kalau disuruh menjabarkan filmnya pakai sebuah tagline, mungkin gue akan bingung menentukan mana yang pas:

  • Kearifan lokal dari ‘Netflix and chill’.
  • Tentang politik, keluguan, dan romansa di rural area.

Yang kedua gue akui terdengar sangat cheesy, tapi paling nggak bisa mencakup seluruh plot film ini.

But still, I love this movie. Congrats for Joko Anwar, Tara Basro, Chicco Jerikho, dan semua orang yang terlibat!

A Copy of My Mind, DVD Bajakan and chill.


Bonus part:

Ada beberapa bagian yang gue perhatiin lucu atau ganjil dari film ini;

  1. Scene food-court Glodoknya luar biasa unik.
  2. Waktu Sari lagi nunggu, terlihat berjam-jam, bahkan seharian. Tapi jam di scene tetep nunjukin pukul 8.
  3. Sari makan indomie cuma pakai sendok.
  4. Kosan dengan 100 penghuni dan 10 kamar mandi rasanya gimana ya kalau Hari Senin?
  5. Pesonanya Tara Basro waktu jalan di pasar bener-bener sampe ngebuat banyak orang ngeliatin dia pas jalan.
  6. Alek jadi pembuat subtitle badannya bagus banget, kapan olahraganya ya?
  7. “Gue suka film makhluk aneh gitu, contohnya buaya sama ikan, jadi bukan.”
  8. Film ini ngebuat scene pamer brand jadi nggak aneh karena nggak ada unsur promosinya sama sekali.